Selasa, 02 November 2010

URGENSI PEMBENTUKAN UU PEKERJA RUMAH TANGGA




URGENSI PEMBENTUKAN UU PEKERJA RUMAH TANGGA


“Women “consistently end up with some of the worst, most poorly-paid jobs —often the ones that men don’t want to do, or that are assumed to be “naturally” suited to women.” 
(Press Release United Nations Development Programme (UNDP), 8 Maret 2010)


LATAR BELAKANG

Isu tentang Pekerja Rumah Tangga (PRT) adalah isu yang sangat lekat dengan persoalan perempuan yang mengalami subordinasi, diskriminasi, kemiskinan, dan kekerasan.  Isu PRT menjadi perdebatan yang cukup hangat di berbagai kalangan, Namun persoalan perlindungan PRT belum dianggap sebagai suatu wacana yang memiliki urgensi tinggi untuk segera diselesaikan. 

Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, PRT dapat dimasukan dalam lingkup istilah  ”Tenaga Kerja” atau ”Pekerja”.   Pasal 1 angka 2 UU tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “Tenaga Kerja” adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.  Lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 3 dinyatakan  bahwa Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Namun ketentuan-ketentuan dalam UU tersebut sama sekali belum memberikan perlindungan terhadap PRT, seperti adanya ketentuan bahwa hubungan kerja yang tercipta antara pemberi kerja (majikan) dengan tenaga kerja ada karena perjanjian kerja. Seringkali hubungan kerja antara PRT dan majikan dilakukan tanpa perjanjian kerja secara tertulis. Akibatnya ketika terjadi masalah dengan PRT, UU No. 13 Tahun 2003 tidak dapat digunakan sebagai acuan untuk melindungi mereka.

Survei Tenaga Kerja Nasional Tahun 2008 yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS) dan estimasi ILO Tahun 2009 menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat lebih dari 3 juta PRT yang bekerja di dalam negeri dan lebih dari 6 juta PRT asal Indonesia bekerja di luar negeri.  Dari jumlah tersebut, sebanyak 90% adalah perempuan, sebagian besar diantaranya berusia antara 13 dan 30 tahun, berasal dari kawasan pedesaan dan berpendidikan rendah.  Sebagai pekerja yang memiliki tingkat pendidikan rendah, lekat dengan kemiskinan, kurangnya keterampilan dan pengalaman kerja, berjenis kelamin perempuan, bahkan berusia anak-anak, PRT sangat rentan mengalami kekerasan. 

Marjinalisasi formalistik yang terlihat dari belum adanya pengaturan secara eksplisit mengenai perlindungan PRT akan semakin membuka peluang dan potensi bagi bentuk-bentuk eksploitasi, seperti psikis, ekonomi, dan fisik terhadap PRT.


PERSPEKTIF GENDER PERLINDUNGAN PRT

Sampai saat ini, rumusan khusus yang bersifat formal tentang pengertian PRT di dalam sistem hukum di Indonesia belum ada.  Istilah PRT merupakan wacana baru yang dikembangkan oleh pihak LSM dan organisasi internasional untuk mengganti kata ”pembantu” (servant/maid).  Pergeseran istilah ini bertujuan untuk melepaskan perempuan PRT dari stratifikasi sosial yang memposisikan mereka sebagai pihak yang lemah dan tersubordinasi.  PRT selama ini memiliki posisi tawar yang lemah di hadapan majikan, penyalur pekerjaan, maupun di hadapan hukum. 

Selama ini, pembagian kerja seksual  dalam masyarakat patriarki telah menempatkan perempuan sebagai makhluk domestik (pekerja rumah tangga), sejak masa kanak-kanak (peran sebagai anak perempuan) hingga dewasa (peran sebagai istri/ibu rumah tangga).  Sebaliknya, laki-laki lebih diposisikan untuk berperan di dunia publik.  Pembagian kerja seksual sebenarnya didasari pada konsep yang membedakan antara pekerja ahli (terdidik) dan pekerja tidak ahli (tidak terdidik). Pekerjaan yang berkisar di wilayah domestik, seperti pekerjaan rumah tangga cenderung dipandang sebagai pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian dan terutama pantas dilakukan oleh perempuan. Oleh karena itu, PRT dianggap sebagai pekerja tidak ahli, yang sifat pekerjaannya sering disebut informal.

Paradigma domestifikasi pekerjaan PRT tersebut yang mengakibatkan pengaturan mengenai PRT ini tidak termasuk di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.  UU tersebut mengatur tentang pekerjaan yang dilakukan di ruang publik,  sedangkan pekerjaan PRT dikategorikan sebagai pekerjaan domestik yang hanya mencakup pekerjaan rumah tangga, antara lain mencuci, memasak, bersih-bersih, dan pengasuh anak/lansia. Pembakuan istilah PRT diharapkan dapat membawa dampak adanya pengakuan bahwa PRT termasuk dalam sektor pekerja formal dan dapat dilindungi secara yuridis formal.

Pengaturan mengenai perlindungan PRT  dalam sebuah UU termasuk dalam salah satu RUU yang diajukan sebagai usul insiatif DPR-RI pada Prolegnas Tahun 2010-2014.  RUU ini masuk sebagai prioritas Prolegnas Tahun 2010.  Namun, sampai saat ini, Naskah Akademik belum disusun dan draft usulan RUU yang ada baru berasal dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT). 

Apabila ditinjau dari perspektif gender, ada beberapa hal yang dapat menjadi hambatan dalam membawa isu Perlindungan PRT sebagai isu yang mendesak, antara lain:
  1. kelemahan dalam proses advokasi pembentukan RUU, yaitu ketidakmampuan membawa problem kebijakan (masalah kekerasan terhadap PRT) menjadi isu kebijakan dan mengangkatnya menjadi agenda kebijakan;
  2. adanya hambatan internal pada pihak yang berwenang dalam pembuatan RUU baik eksekutif maupun legislatif, seperti basis material dan teori yang lemah;
  3. adanya bias gender sehingga ada anggapan bahwa isu ini adalah isu domestik yang tidak mendesak jika dibandingkan dengan isu lain yang lebih maskulin; dan
  4. pengaruh tingkat keterwakilan perempuan yang rendah (juga kualitas perempuan) yang ada di legislatif sehinga sulit mengagendakan isu perempuan.

PENGATURAN  PRT DI TINGKAT INTERNASIONAL
Dalam Press Release United Nations Development Programme (UNDP), “Asia-Pacific Has One of the World’s Worst Gender Gaps”, yang dikeluarkan dalam rangka Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2010, disebutkan bahwa:  “….up to 85 percent of South(East) Asia’s working women―are engaged in unstable low-end work in the informal economy. Hal ini menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2010 ini, kualitas kehidupan ekonomi perempuan di negara-negara Asia masih dalam keadaan yang mengkhawatirkan.   Masih banyak perempuan yang bekerja di sektor informal dengan penghasilan/upah yang rendah.  Minimnya partisipasi perempuan dalam pekerjaan sektor formal akan merugikan negara jutaan dollar per tahun, karena penghasilan mereka tidak tercatat sebagai pendapatan negara.  Di India, Indonesia, dan Malaysia, estimasi konservatif menunjukkan bahwa GDP (Gross Domestic Product) akan meningkat sekitar 2-4 % per tahun apabila pekerja perempuan meningkat sampai 70%, mendekati angka rata-rata di negara berkembang lainnya.  Para ahli ekonomi menghitung, angka produktivitas di Jakarta turun lebih dari 60% ketika PRT pulang kampung berlebaran. 
International Labour Organization (ILO) telah lama memberikan perhatian khusus kepada para PRT.  International Labour Convention (ILC) bahkan telah secara rutin menyerukan penetapan standar untuk PRT sejak tahun 1936.  Perkembangan terkini, ILO melakukan kajian khusus mengenai Peraturan Praktik berjudul “Pekerjaan yang Layak untuk PRT” (Decent Work for Domestic Work), yang dituangkan dalam Laporan ILO pada April 2009. Dalam laporan tersebut ditawarkan “Penetapan Standar Ketenagakerjaan bagi PRT.”  Laporan ini juga yang memfasilitasi diskusi tentang Pekerja Rumah Tangga pada sesi ke-99 Konferensi Ketenagakerjaan Internasional (ILC), yang akan diselenggarakan pada Juni 2010.   Pemerintah Indonesia akan mengikuti konferensi ini.
Selain itu, dapat dicermati pula pengaturan perlindungan PRT yang telah dimiliki oleh beberapa negara di dunia, antara lain Afrika Selatan, Filipina, dan Arab Saudi.    
Di Afrika Selatan, sejak tahun 2002, Departemen Tenaga Kerja telah membuat suatu Undang-Undang yang mengatur tenaga kerja pada sektor domestik.  UU ini dikenal dengan sebutan “Sectoral Determination for the Domestic Worker Sector”.  Tujuan dikeluarkannya UU ini adalah untuk memperbaiki kondisi PRT terutama dalam hal jam kerja, upah, cuti, dan hak-hak sebagaimana pekerja di sektor lainnya. Standar upah dibagi berdasarkan jumlah jam kerja dan area kerja/wilayah tempat tinggal majikan.  Berdasarkan ketentuan, jam kerja standar adalah 27 jam per-minggu.  Besarnya upah dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
1.    upah minimum bagi PRT yang bekerja lebih dari 27 jam per minggu; dan
2.    upah minimum yang ditentukan bagi PRT yang bekerja kurang dari 27 jam 
per minggu. 
Maksimum waktu kerja adalah 45 jam seminggu.  Diatur pula mengenai apa yang tidak boleh dilakukan oleh PRT dan hak lain bagi PRT yang perlu mendapatkan perhatian dari majikan, seperti fasilitas tempat tinggal PRT yang layak dan aman.

Di Filipina, merupakan negara tetangga yang juga menjadi penghasil dan pengguna PRT dalam jumlah cukup besar, telah mengeluarkan sebuah UU tentang PRT.  UU yang dikenal dengan sebutan ”Magna Carta Domestic Workers atau Batasan Kasambahay” menyatakan bahwa PRT adalah jenis pekerjaan yang harus dihormati dan memiliki hak-hak yang sama dalam peningkatan kesejahteraannya.  Pengakuan negara terhadap kerentanan kelompok masyarakat terpinggirkan ini diimbangi dengan kewajiban negara untuk memberikan pelayanan sosial, ekonomi, dan hukum yang sepatutnya untuk PRT. 
Dalam Magna Carta juga disebutkan berbagai bentuk pekerjaan yang dilarang dilakukan oleh PRT, karena dapat berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan dirinya.  Mengenai jaminan sosial, disebutkan agar setiap PRT dilibatkan setidaknya dalam dua jenis Jaminan Sosial yaitu Jaminan Ketahanan Sosial (Social Security System) dan Jaminan Asuransi Kesehatan (Philhealth).   Selanjutnya, untuk melaksanakan UU ini, Pemerintah Filipina langsung membentuk Gugus Tugas Nasional PRT (National Task Force for Domestic Workers).   Dapat dikatakan bahwa peraturan yang dibuat untuk melindungi PRT di Filipina bukan sekedar peraturan yang dibuat berdasarkan kepentingan finansial atau orientasi proyek, melainkan sebagai suatu perwujudan perspektif yang kuat mengenai pentingnya perlindungan PRT.  Bagaimanapun juga, kita semua membutuhkan jasa PRT dalam meringankan pekerjaan sehari-hari.

Di Arab Saudi, beberapa waktu yang lalu Dewan Syura Arab Saudi akhirnya mengesahkan tambahan dalam hukum perburuhan menyangkut klausul baru tentang PRT.   UU yang dibentuk selama beberapa tahun tersebut menyatakan kewajiban majikan terhadap PRT, antara lain memberikan waktu istirahat setidaknya 9 jam per hari, fasilitas tempat tinggal yang layak, dan cuti/liburan.


PERKEMBANGAN ISU PERLINDUNGAN PRT DI INDONESIA

Secara nasional, memang belum ada peraturan khusus tentang PRT.  Meskipun demikian, sudah ada Pemerintah Daerah yang mengatur masalah PRT dalam Peraturan Daerah (Perda), antara lain Provinsi D.I. Yogyakarta dan DKI Jakarta.

Di Yogyakarta, isu perlindungan terhadap PRT ini bergaung cukup kencang.  Beberapa waktu yang lalu, para aktivis lokal melakukan aksi long march ke Kantor Gubernur dan DPRD Provinsi DIY.  Aksi tersebut sebagai ungkapan kekecewaan terhadap Surat Keputusan (SK) Gubernur yang tidak menyetujui PRT diatur dalam Perda No. 13 Tahun 2009.  Dalam SK No 244/Kep/2009 tertanggal 14 Desember 2009, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta meminta agar Pasal 37 yang mengatur tentang PRT dalam Peraturan Daerah tentang Ketenagakerjaan dianulir.  Alasannya, PRT tidak termasuk dalam kategori tenaga kerja seperti yang diatur di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, pada akhirnya Pemerintah Provinsi DIY berkomitmen akan merumuskan Peraturan Gubernur (Pergub) khusus mengatur tentang PRT.

Di DKI Jakarta, peraturan mengenai Perlindungan PRT ini tertuang dalam Perda Pemerintah Provinsi DKI Jakarta No. 6 Tahun 1993.  Meskipun Perda ini masih menggunakan istilah “pramuwisma/pembantu rumah tangga”, setidaknya ada pengaturan mengenai  hak dan kewajiban majikan dan PRT, persyaratan PRT, kewajiban badan usaha penyalur PRT, larangan bagi penyalur, dan penyelesaian perselisihan.  Tetapi bagaimanapun Perda ini dianggap masih kurang signifikan dalam memberikan perlindungan terhadap PRT di DKI Jakarta.  Saat ini sedang diusulkan agar dilakukan revisi terhadap Perda tersebut.

Di tingkat nasional, kelompok masyarakat dan aktivis pemerhati isu perlindungan terhadap PRT mulai melakukan advokasi dengan dikoordinasikan oleh Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT).   Draf Rancangan Undang-Undang tentang Pekerja Rumah Tangga yang disampaikan ke DPR-RI terdiri dari 11 BAB dan 49 Pasal, dengan harapan pembentukan dan pembahasan dapat dilakukan pada tahun 2011.



Substansi Perlindungan di dalam RUU PRT
Berdasarkan berbagai perbandingan di atas, sesungguhnya para pihak yang concern terhadap isu ini menginginkan tersedianya aturan yang jelas bagi perlindungan PRT.  Dengan cakupan yang diatur antara lain tentang pemenuhan upah yang layak, hak untuk berorganisasi, perlindungan hukum, jam kerja dan istirahat, serta jaminan kesehatan dan jaminan sosial.  Para aktivis pembela PRT menilai bahwa tuntutan itu akan terpenuhi apabila pemerintah melakukan empat tindakan, yakni: Pertama, meratifikasi Konvensi Internasional PBB tentang Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya Tahun 1990; Kedua, melakukan revisi UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri yang mengacu pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terdapat dalam Konvensi Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya Tahun 1990; Ketiga, mewujudkan UU Perlindungan PRT yang di dalamnya memuat pengakuan PRT sebagai pekerja serta menjamin situasi dan kondisi kerja yang layak; dan Keempat, mengambil peran aktif dalam mendorong lahirnya Konvensi ILO tentang PRT, pada Konvensi ILO bulan Juni 2010 mendatang. 
Adapun tujuan dari Perlindungan PRT melalui UU, yaitu:
a.    memberikan pengakuan secara hukum atas jenis pekerjaan PRT;
b.    memberikan pengakuan bahwa pekerjaan kerumahtanggaan mempunyai nilai yang setara dengan semua jenis pekerjaan lainnya;
c.    mencegah segala bentuk diskriminasi, pelecehan, dan kekerasan terhadap PRT;
d.    memberikan perlindungan kepada PRT dalam mewujudkan kesejahteraan; dan
e.    mengatur hubungan kerja yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan.
Tujuan tersebut dapat terwujud apabila dalam UU tentang PRT nantinya mengatur berbagai hal krusial terkait perlindungan PRT.  Berikut ini beberapa pengaturan perlindungan PRT yang diharapkan tercakup dalam RUU:
1.    hubungan kerja antara PRT dengan pengguna jasa terjadi karena adanya perjanjian kerja guna melakukan pekerjaan kerumahtanggaan;
2.    waktu kerja PRT adalah sesuai dengan yang diperjanjikan dan lamanya maksimal 8 jam per hari;
3.    pekerjaan yang dilakukan selebihnya dari waktu kerja diperhitungkan sebagai waktu kerja lembur dan PRT menerima upah lembur, dan lamanya waktu lembur maksimal 4 jam per hari;
4.    setiap PRT berhak mendapatkan waktu istirahat selama melaksanakan pekerjaan;
5.    waktu istirahat tidak diperhitungkan sebagai jam kerja;
6.    PRT berhak mendapatkan waktu libur mingguan selama 24 jam atau 1 (satu) hari dalam setiap 1 minggu tanpa potongan;
7.    dalam hal PRT bekerja di waktu libur mingguan, maka PRT berhak menerima upah lembur;
8.    PRT berhak mendapatkan upah hidup layak atas pekerjaan yang dilakukan.  Upah yang layak bukanlah upah minimum, namun harus disesuaikan dengan jam kerja, bentuk pekerjaan, dan pengalaman kerja;
9.    PRT berhak atas fasilitas makanan yang layak selama masa kerja;
10.  PRT berhak atas jaminan sosial, yang meliputi: Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Tunjangan Hari Tua, Tunjangan Kematian, dan Tunjangan Melahirkan;
11.  setiap PRT berhak membentuk dan menjadi anggota Serikat Pekerja Rumah Tangga; dan
12.  ketentuan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja dan Penyelesaian Perselisihan.
Terkait dengan rencana DPR-RI untuk menyusun dan melakukan pembahasan RUU tentang PRT, maka hendaknya wacana ini dapat menjadi salah satu masukan sehingga dapat terbentuk suatu perlindungan yang eksplisit terhadap PRT.

Dina Martiany
Email:  dina8333@gmail.com

Referensi:

1.    Susiana, Sali, ”Perlindungan Hak Pekerja Rumah Tangga Perempuan dalam Perspektif Feminis (Studi tentang Rancangan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta tentang Pekerja Rumah Tangga)”, Jurnal Kajian, Vol. 13 No. 1, Jakarta, Maret 2008.
2.    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
3.    Jurnal Perempuan Nomor 39: Pekerja Rumah Tangga, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, Januari 2005.
4.    Ni’Mah, Maslahatun, PRT, Potret Inferioritas Perempuan: Studi tentang Pengaruh Ideologi Gender dalam Proses Pembuatan Kebijakan Perda Perlindungan PRT di Surabaya”, dikutip dari http://www.adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-s1-2007-nimahmasla- 5018&PHPSESSID=0581b87ff3e6fc78a1d0fb8fcfa7aeb6, 26 Juli 2007, diakses tanggal 8 Maret 2010.
5.    Press Release United Nations Development Programme (UNDP), “Asia-Pacific Has One of the World’s Worst Gender Gaps”, 8 Maret 2010.
6.    “What Domestic Workers and Their Employers Should Know About Minimum Wages and Conditions of Employment”, Pamflet Pekerja Rumah Tangga Afrika Selatan, dikutip dari www.labour.gov.za., diakses tanggal 8 Maret 2010.
7.    “ILO to Campaign on Domestic Worker’s Right in Indonesia”, dikutip dari http://www.oit.org/jakarta/info/public/pr/langen/WCMS_116610/index.htm, diakses tanggal 8 Maret 2010.
8.    Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Pemerintah Agar Dukung Konvensi Perlindungan PRT”, 20 Agustus 2009, dikutip dari http://www.vhrmedia.com/Pemerintah-agar-Dukung-Konvensi-Perlindungan-PRT-berita2053.html.
9.    “UU PRT di Arab: Perlindungan Internasional untuk PRT”, dikutip dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/05/03535368/perlindungan.internasional.untuk.prt---------Jumat, 5 Februari 2010.
10.  “Puluhan Pekerja Rumah Tangga Unjuk Rasa”¸ Media Indonesia, 9 Februari 2010, dikutip dari http://www.rtnd.org/v3/en/.  Diakses tanggal 8 Maret 2010.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar