Senin, 08 November 2010

Jakarta Culinary Festival and the Narsis Food Lover ^^,



Minggu kemarin (7/11) gue datang ke Jakarta Culinary Festival (JCF) 2010 Grand Opening Weekend, gelarannya Ismaya Group bekerjasama dengan Grand Indonesia dan Kempinski Hotel.  Acara ini diadain di  Grand Indonesia Shopping Mall, di sekitar area restaurant dan cafe yang tersebar di level lima.  Dilihat dari Guide Book-nya, kegiatan yang digelar di JCF cukup beragam.  

Utamanya sudah pasti pameran berbagai finest food and drinks dari berbagai restaurant, cafe, dan suppliers makanan di Jakarta. Para Masterchef internasional juga siap berlaga memamerkan kreatifitasnya dalam mengolah menu andalan mereka.  Siapa sajakah mereka?  
Antara lain: Santi Santamaria (7 Michellin Star Masterchef); Frank Cammora (Masterchef dan owner Movida Restaurant, Melbourne); Edward Kwon (Owner of The Spice, Korea); dan Dre Masso (World Class Mixologist).  

Nggak ketinggalan, "Rotaryana Cooking Theater" akan menampilkan sederet Local Culinary Stars.  Here's they are:    Andre Buser, Thomas Verschnik, William Wongso, Vindex Tengker, Gianfranco Beltrame, Antoine Audran, Adhika Maxi & Karen Carlotta, Suyanto, Sandra Djohan, Rinrin Marinka, Farah Quinn, and many more!

Semakin serunya lagi, kita bisa mendapatkan pengetahuan baru tentang organic foods and drinks, wines, coffee, vodka, dan beer. Woow...!! Pengetahuan itu bisa sambil lalu kita peroleh saat berkunjung ke beberapa stand.  Misalnya: ketika mampir ke stand Anomali Coffee, top-barista nya sedang memberikan 'kuliah singkat' tentang perbedaan local coffee yang ada di Indonesia, dari kopi Aceh sampai Papua.  Di kesempatan itu juga, Saya jadi lebih paham perbedaan kopi yang light body atau hard body!!  Euh, apalagi nyobain Blackforrest Blended-nya Anomali, wuenaakk benerrr....!!

Berhubung datang ke JCF bareng Nyokap dan Bokap, jadi deh nggak bisa berlama-lama di sana, karena si Bokap maunya buru-buru aja...  After, muter-muter ke seluruh arena expo, kita akhirnya memilih mojok nyobain beberapa menu ini:

- Bangkok Roast Duck ala Sarong Restaurant, Bali
- Mushroom Soup speciality-nya Potato Head, Pacific Place-Jakarta
- Orgasmic Sushi ala Social House, Grand Indonesia-Jakarta
Masing-masing testing food itu hanya seharga Rp. 20rb, tapi udah cukup bikin kenyaangg!!!



Jelas banget deh ini acara yang diselenggarain sampai akhir bulan November 2010, bakal jadi surga berkumpulnya para food lovers, food suppliers, dan food experts!!

Ayoo....Ayoo siapa yang berminat datang?
Just Check this Calendar Event, first!!


link:  http://www.ismaya.com/jakartaculinaryfestival/index.php?task=events&show=calendar

........and here's the narsis Food Lover, who loves any kind of  foods and coffee!!

It's ME....... !!!!   (^_^)

*****

Selasa, 02 November 2010

PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs DAN KESETARAAN GENDER




INFO SINGKAT DPR-RI
VOL.II, 18/II/P3DI//September 2010

PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs  DAN KESETARAAN GENDER

"These often unsung heroes understand...that poverty, disease and famine are just as deadly and destructive as earthquakes, hurricanes and tsunamis. Individuals...are taking on these challenges in their communities, volunteering to make a difference. They remain the true champions of our work towards the Millennium Development Goals."
 Kofi Annan (former Secretary-General of United Nations)

Pendahuluan

Millenium Development Goals (MDGs) merupakan suatu kesepakatan dan kemitraan global untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, yang ditunjukkan dengan paket berisi tujuan yang mempunyai batas waktu dan target terukur. MDGs ini disepakati oleh 189 negara Anggota PBB dalam KTT Millenium PBB bulan September tahun 2000. Selanjutnya, dilegalkan dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 55/2 tanggal 15 September 2000 tentang Deklarasi Millenium PBB.  Pencapaian MDGs merupakan komitmen negara terhadap rakyat Indonesia dan komitmen Indonesia kepada masyarakat global. 
Pencapaian MDGs tidak dapat dianggap semata-mata hanya mengejar target, tetapi harus diintegrasikan sebagai program pembangunan, yang dilaksanakan secara berkesinambungan, walaupun telah melewati tahun 2015.  Pencapaian MDGs harus dilakukan dengan strategi Pengarusutamaan pencapaian MDGs dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)Tahun  2010-2014 dengan penetapan program/kegiatan, sasaran, indikator, dan target terukur, serta jaminan penyediaan sumber pembiayaan.  Lebih lanjut, apabila diperhatikan secara seksama, sesungguhnya setiap butir MDGs terkait dengan tujuan pencapaian kesetaraan dan keadilan gender.  Untuk mencapai kedelapan butir MDGs perlu dilakukan Pengarusutamaan Gender (PUG) di segala bidang pembangunan demi terwujudnya kesetaraan gender. Ketika kesetaraan gender dalam setiap bidang kehidupan masyarakat telah dicapai, target MDGs akan ikut tercapai.   Begitu juga sebaliknya, setiap butir MDGs sangat terkait dengan upaya pencapaian kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Perempuan memegang peranan yang sangat strategis dalam pencapaian MDGs.

Pencapaian MDGs dan Kesetaraan Gender

1.  Penghapusan Tingkat Kemiskinan dan Kelaparan
Target yang ingin dicapai yaitu penurunan tingkat kemiskinan yang diukur terhadap garis kemiskinan nasional dari 13,33 % (2010) menjadi 7,55 % (2015).  Prevalensi balita kekurangan gizi telah berkurang hampir setengahnya, dari 31 % (1989) menjadi 18,4 % (2007). Target tahun 2015 sebesar 15,5 %, menurut Bappenas diperkirakan akan tercapai.
Pada butir pertama ini, aspek gender yang secara spesifik terkandung yaitu perempuan sebagai bagian dari keluarga sangat berperan dalam mewujudkan kesejahteraan keluarga.  Saat ini, Kemiskinan masih tetap berwajah perempuan. Dari sekitar 1,2 miliar manusia yang hidup dalam kemiskinan absolut, 70 % di antaranya adalah perempuan.  Cukup banyak perempuan yang membantu mencari nafkah atau bahkan menjadi pencari nafkah utama dalam keluarga.  Mengurangi tingkat kemiskinan salah satunya dapat dilakukan dengan pemberdayaan perempuan sebagai kepala keluarga, di dalam usaha kecil-menengah yang memiliki daya resistensi lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya krisis ekonomi dibandingkan dengan perekonomian secara makro.
2.   Pemerataan Pendidikan Dasar
Angka Partisipasi Murni (APM) untuk pendidikan dasar mendekati 100%. Tingkat melek huruf penduduk mencapai 99,47 % pada tahun 2009.. Target pencapaian pendidikan dasar secara universal yaitu memastikan setiap anak laki dan perempuan mendapatkan dan menyelesaikan tahap pendidikan dasar.  Pendidikan untuk anak perempuan selama ini masih dinomor-duakan.  Padahal apabila perempuan mengenyam pendidikan maka akan berdampak pada kesejahteraan masa depannya secara pribadi.  Akan berdampak positif pada pencapaian kesejahteraan keluarga, masyarakat, serta meningkatkan peran perempuan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  Pendidikan dasar ini dapat dijadikan sebagai pintu masuk awal untuk mewujudkan kesetaraan gender, yaitu dengan menciptakan kurikulum pendidikan dasar yang adil gender  sehingga kesetaraan gender pada masa kehidupan generasi muda ke depan akan lebih mudah untuk diwujudkan.
3.   Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan
Pencapaian kesetaraan gender dapat dilakukan dengan membangun sumber daya manusia, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Berbagai upaya peningkatan peran dan kualitas hidup perempuan telah dilakukan, agar perempuan dapat bermitra sejajar dengan laki-laki.  Indikator pencapaian target MDGs pada butir ketiga ini terletak pada upaya mengurangi kesenjangan gender bidang pendidikan di semua tingkatan, baik pada jenjang sekolah dasar, menengah, maupun tinggi, demikian juga di bidang ketenagakerjaan maupun partisipasi perempuan dalam ranah legislatif dan politik.

Sampai saat ini, Angka Partisipasi Murni (APM) perempuan di seluruh jenjang pendidikan tingkat nasional, telah mengalami kemajuan yang signifikan.  Pencapaian kesetaraan gender tersebut diukur dengan Indeks Paritas Gender (IPG) APM atau rasio APM. Pada tahun 2009, IPG pada tingkat Sekolah Dasar (SD/MI/Paket A) telah mencapai 99,73, di tingkat Sekolah Menengah Pertama termasuk Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs/Paket B) sebesar 101,99, di tingkat Sekolah Menengah Atas termasuk Madrasah Aliyah (SM/MA/Paket C) sebesar 96,16,  dan di tingkat Pendidikan Tinggi sebesar 102,95. Namun demikian, disparitas antar provinsi masih menjadi permasalahan, terutama pada tingkat pendidikan menengah dan tinggi.   IPG nasional untuk melek huruf kelompok usia 15-24 tahun hampir mendekati angka 100, dengan tingkat melek huruf pada kelompok perempuan sebesar 99,40 % dan tingkat melek huruf pada laki-laki sebesar 99,55 %.  

Sementara itu, di bidang ketenagakerjaan, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan lebih rendah dibandingkan dengan TPAK laki-laki. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) menunjukkan dari tahun 2004 sampai tahun 2009, TPAK perempuan tidak menunjukkan peningkatan, hanya berkisar sekitar 50 %. Angka tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan TPAK laki-laki yang rata-rata 84 %.  Di bidang politik, hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 menunjukkan keterwakilan perempuan di DPR-RI belum seusai harapan, yaitu hanya sebesar 17,9 % sedikit meningkat dari periode sebelumnya (11,3 %).  Selain itu, terdapat beberapa Undang-Undang (UU) terkait kesetaraan gender dan UU yang mengakomodir affirmative action untuk keterwakilan perempuan di bidang politik, yang dikeluarkan oleh DPR-RI.

Berdasarkan tantangan sebagaimana tersebut di atas, maka kebijakan peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan diarahkan pada: (1) peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan, (2) perlindungan perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan, melalui upaya-upaya pencegahan, pelayanan, dan pemberdayaan; dan (3) peningkatan kapasitas kelembagaan Pengarus Utamaan Gender (PUG) dan pemberdayaan perempuan melalui penerapan strategi PUG serta Anggaran Reponsif Gender (ARG) di seluruh Kementerian/Lembaga.

4.   Mengurangi Tingkat Kematian Anak
Angka kematian anak balita menurun dari 97 (1991) menjadi 44 per 1.000 kelahiran (2007) dan diperkirakan target 32 per 1.000 kelahiran pada tahun 2015 dapat tercapai.  Di dalam butir ke empat ini, jelas bahwa seorang ibu/perempuan memegang peranan utama dalam mengurangi kematian anak dengan memperhatikan gizi dan kesehatannya.  Pendidikan, pengetahuan, dan akses perempuan terhadap pelayanan kesehatan, akan sangat berpengaruh dalam mengurangi tingkat kematian anak.  Diperlukan perencanaan pembangunan sarana dan prasarana kesehatan yang berperspektif gender, yaitu dengan pembangunan rumah sakit untuk penduduk miskin, posyandu, dan fasilitas kesehatan lain secara memadai, serta memperbanyak jumlah dokter di wilayah terpencil,.  Bukan hanya meningkatkan pembangunan dengan fasilitas milik swasta yang mahal dan bertaraf internasional.

5.  Meningkatkan Kesehatan Ibu
Aspek gender yang terdapat pada butir kelima MDGs ini yaitu pentingnya meningkatkan pendidikan, pengetahuan, dan akses perempuan/ibu terhadap pelayanan kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi.  Tingkat Angka Kematian Ibu (AKI) menurun dari 390 (1991) menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup (2007).  Berdasarkan analisa Bappenas tahun 2010 target pencapaian sasaran kelima MDGs sulit tercapai, masih diperlukan upaya keras untuk mencapai target tahun 2015 yaitu 102 per-100.000 kelahiran hidup.
Pada permasalahan kematian ibu, ketersediaan data masih lemah sehingga pencapaian program pemerintah pun sulit dilakukan.  Penyebab utama terkait kehamilan dan persalinan ialah perdarahan (28 %). Berdasarkan data Ikatan Bidan Indonesia (IBI), jumlah bidan lebih dari 83.000 orang, sedangkan jumlah desa sekitar 71.000 desa. Namun, penyebarannya tidak merata. Masih banyak persalinan ditolong oleh dukun. Selain itu, perlu pula adanya peningkatan pembangunan rumah sakit/klinik bersalin yang terjangkau oleh perempuan miskin serta memberikan pendidikan dan pelatihan kepada bidan desa/dukun kelahiran.
6.  Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya

Target yang ingin dicapai tahun 2015 adalah menghentikan dan memulai pencegahan penyebaran HIV/AIDS, gejala malaria, dan penyakit berat lainnya. Terjadi peningkatan penemuan kasus tuberkulosis (TB) dari 20,0 % (2000) menjadi 73,1 % (2009) dari target 70,0 % (2015).  Penurunan prevalensi tuberkulosis dari 443 kasus pada 1990 menjadi 244 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 2009. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2007 yang hidup dengan virus HIV diperkirakan antara 172.000 dan 219.000, sebagian besar  adalah laki-laki.  Namun, perempuan berisiko besar terkena HIV/AIDS dari pasangannya. Risiko tertular HIV yang dihadapi perempuan muda dua sampai empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki muda. Di Asia Tenggara, lebih dari 60 % infeksi baru terjadi pada perempuan muda.
Masalah utama saat ini adalah rendahnya kesadaran tentang isu-isu HIV dan AIDS serta terbatasnya layanan untuk menjalankan tes dan pengobatan.  Diperlukan sosialisasi secara terus-menerus kepada kelompok perempuan yang rentan tertular, terutama pada perempuan dalam kelompok masyarakat adat yang masih menjalankan ritual seks berganti pasangan, perempuan Pekerja Seks Komersial (PSK), dan remaja.   Aspek gender lainnya yang terdapat dalam butir MDGs ini yaitu perempuan ODHA akan mengalami dampak stigma sosial yang lebih berat dibandingkan dengan laki-laki.  Selanjutnya, Perempuan juga harus diberikan pengetahuan dan sosialisasi untuk menghentikan dan mulai membalikkan kecenderungan persebaran malaria dan penyakit-penyakit utama lainnya sebelum tahun 2015.
7.  Menjamin Keberlanjutan Lingkungan Hidup
Dalam butir ketujuh ini, target yang ingin dicapai yaitu: (a) mengintegrasikan prinsip‐prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam kebijakan dan program nasional serta mengurangi sumber‐sumber kerusakan lingkungan; (b) menurunkan hingga separuhnya proporsi rumah tangga tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar.  Saat ini, hanya 47,73 % Rumah Tangga yang memiliki akses berkelanjutan terhadap air minum layak dan 51,19 % yang memiliki akses sanitasi yang layak.  Permasalahan yang lain yaitu Indonesia memiliki tingkat emisi gas rumah kaca yang tinggi. Sehingga, sangat diperlukan adanya kebijakan untuk mengurangi emisi karbon dioksida paling sedikit 26 % selama 20 tahun ke depan. 
Dalam hal menjamin keberlanjutan lingkungan hidup, perempuan memegang peranan penting untuk mendapatkan akses terhadap air bersih untuk kebutuhan rumah tangga, sementara laki-laki bertanggungjawab mencari air biasanya digunakan untuk kepentingan usahanya, seperti aktivitas bertani, beternak, dll.  Kondisi saat ini, air bersih akan menjadi semakin langka, karena maraknya kegiatan-kegiatan privatisasi.  Sehingga akses terhadap air bersih akan semakin terbatas, terutama bagi mereka yang tidak mampu membayar distribusi air, misalnya: keluarga miskin dan keluarga dengan perempuan sebagai kepala keluarga.  Oleh karena itu dalam pencapaian target MDGs butir ketujuh ini, perlu dikeluarkan kebijakan-kebijakan terkait perlindungan lingkungan dan antisipasi serta penanggulangan dampak perubahan iklim, dengan mengedepankan perspektif gender.
8.    Mengembangkan Kemitraan Global untuk Pembangunan
Dalam mewujudkan target pembangunan millenium diperlukan kerjasama global, agar terjadi percepatan pembangunan kualitas hidup manusia Indonesia dan pencapaian kesetaraan gender. Selama ini, Indonesia telah berhasil mengembangkan kemitraan dalam perdagangan dan sistem keuangan yang terbuka, berdasarkan aturan, bisa diprediksi serta non-diskriminatif.  Kemajuan signifikan telah dicapai dalam mengurangi rasio utang LN terhadap GDP dari 24,6 % (1996) menjadi 10,9 % (2009).  Selain itu, bentuk kemitraan global yang juga dilakukan adalah kerjasama dengan negara/lembaga donor dalam pelaksanaan dan monitoring berbagai program kesejahteraan rakyat termasuk program kesetaraan gender.  Kerjasama global ini juga dapat dillakukan sebagai upaya mengintegrasikan sistem anggaran yang responsif gender dalam anggaran nasional.


Peranan DPR-RI dalam Percepatan Pencapaian MDGs

DPR-RI memegang peranan yang sangat strategis untuk merumuskan kebijakan dan anggaran yang mendukung percepatan pencapaian MDGs. Peran DPR dalam mencapai MDGs dilakukan sesuai dengan fungsi DPR-RI.  Pasal 69 (1) UU No. 27/Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). DPR-RI mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.

1.     Fungsi Legislasi
Adalah merumuskan Undang-Undang (UU) yang dapat mendorong percepatan pencapaian butir- butir MDGs. UU yang telah dikeluarkan oleh DPR-RI terkait dengan perwujudan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, antara lain:
a.     UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
b.     UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (memasukkan tentang  Gender Gap Development Index)
c.     UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT);
d.     UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
e.     UU No.12 Tahun 2006 tentang Keimigrasian;
f.      UU No. 21/Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO);
g.     UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu (memasukkan tentang tindakan afirmatif 30% perempuan dalam daftar calon dan sistem zipper);
h.     UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (memasukkan tentang 30% perempuan dalam pendirian dan kepengurusan tingkat pusat parpol);
i.       UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (mengenai Kesehatan Reproduksi);

2.    Fungsi Anggaran
a.    merencanakan anggaran yang dialokasikan pada program strategis terkait pencapaian butir MDGs;
b.    penyusunan anggaran yang berbasis pada peningkatan pemberdayaan masyarakat dan keluarga Indonesia;
c.    penyusunan anggaran yang berperspektif gender (Anggaran Responsif Gender/ARG).
3.    Fungsi Pengawasan
a.    mengkiritisi kebijakan Pemerintah yang tidak sesuai dengan arah pembangunan milenium;
b.    melakukan pengawasan terhadap implementasi UU dan peraturan pelaksananya; dan
c.       melakukan pengawasan terhadap penerapan anggaran (APBN) agar sesuai dengan target MDGs yang ingin dicapai.

Strategi Percepatan Pencapaian MDGs

1.    Membentuk kelembagaan yang berfungsi mengkoordinasikan Kementerian/Lembaga yang terkait langsung dengan pencapaian target-target MDGs.
2.    Mengintegrasikan target-target indikator pencapaian MDGs sebagai indikator kinerja perencanaan penganggaran di tingkat Nasional dan daerah. Target MDGs menjadi program prioritas nasional, sebagai dasar penyusunan arah kebijakan fiskal dan nota keuangan.
3.    Menerapkan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah untuk program-program pencapaian MDGs yang meliputi penanggulangan kemiskinan, pengurangan gizi buruk dan kurang, Meningkatkan Kesehatan Ibu dan Bayi, Penanganan HIV dan Sanitasi.
4.    Meningkatkan Dana Perimbangan khususnya Dana Alokasi Khusus berdasarkan target-target pencapaian MDGs. Besarnya DAK dirumuskan berdasarkan variabel tingkat rendahnya pencapaian target MDGs untuk mengatasi kesenjangan pencapaian target MDGs antar daerah.
5.    Memberikan perhatian khusus terhadap 20 daerah yang pencapaian target MDGs-nya dibawah rata-rata Nasional.
6.    Memberikan insentif fiskal bagi daerah-daerah yang mampu mencapai target MDGs dan yang berhasil menerapakan sistem jaminan sosial yang menyeluruh.
7.    Mensinergikan anggaran penanggulangan kemiskinan dan memperbesar proporsi dalam bentuk dana perimbangan di daerah. Persoalan utama anggaran kemiskinan saat ini adalah efektivitas dan efisiensi alokasi angaran.
8.    Mengimplementasikan Anggaran Responsif Gender (ARG) dan pro-poor budget dalam perencanaan penganggaran di tingkat Nasional dan Daerah.
9.    Meningkatkan alokasi anggaran kesehatan minimal 5% dari PDB. Saat ini pengeluaran kesehatan Indonesia terendah di kawasan Asia Tenggara, bahkan hanya 1/3 dari anggaran kesehatan Filiphina yang berada diurutan kedua terendah.
10.  Memperbaiki sistem data base kependudukan sebagai basis data pencapaian indikator MDGs dan penggunaan data terpilah berdasarkan gender. Indikator MDGs khususnya kematian Ibu dan anak merupakan data yang paling tidak up to date memiliki banyak versi.

Dina Martiany
Email:  dina8333@gmail.com

Referensi:

1.  Lukita, Dinarsyah Tuwo, Bappenas, “Rencana Tindak Percepatan Pencapaian Tujuan MDGs”, presentasi yang disampaikan Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan dalam Seminar MDGs yang diadakan Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI) DPR-RI, pada tanggal 26 Agustus 2010.
2.  Singgih, Ujianto P., “Peran DPR-RI dalam Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium: Studi Kasus DPR-RI Periode 2004-2009”, Indonesian Forum of Parliament on Population and Development (IFPPD), Jakarta, Desember 2009.
3.  Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KP3A), “MDGs Roadmap-Goal-3”, tanggal 14 Juli 2010.
4.  “Target Angka Kematian Ibu Sulit Dicapai”, berita harian Kompas tanggal 22 September 2010, hal. 1.
5.  “Women Empowerment And Child Protection: Strategic Planning 2009-2014”, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Jakarta, 2009.
6.  “Ringkasan Eksekutif-Strategi Akselerasi Pencapaian Target MDGs 2015: Peta Pencapaian MDGs Targets di Indonesia Saat Ini”, dikutip dari halaman situs

*****

URGENSI PEMBENTUKAN UU PEKERJA RUMAH TANGGA




URGENSI PEMBENTUKAN UU PEKERJA RUMAH TANGGA


“Women “consistently end up with some of the worst, most poorly-paid jobs —often the ones that men don’t want to do, or that are assumed to be “naturally” suited to women.” 
(Press Release United Nations Development Programme (UNDP), 8 Maret 2010)


LATAR BELAKANG

Isu tentang Pekerja Rumah Tangga (PRT) adalah isu yang sangat lekat dengan persoalan perempuan yang mengalami subordinasi, diskriminasi, kemiskinan, dan kekerasan.  Isu PRT menjadi perdebatan yang cukup hangat di berbagai kalangan, Namun persoalan perlindungan PRT belum dianggap sebagai suatu wacana yang memiliki urgensi tinggi untuk segera diselesaikan. 

Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, PRT dapat dimasukan dalam lingkup istilah  ”Tenaga Kerja” atau ”Pekerja”.   Pasal 1 angka 2 UU tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “Tenaga Kerja” adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.  Lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 3 dinyatakan  bahwa Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Namun ketentuan-ketentuan dalam UU tersebut sama sekali belum memberikan perlindungan terhadap PRT, seperti adanya ketentuan bahwa hubungan kerja yang tercipta antara pemberi kerja (majikan) dengan tenaga kerja ada karena perjanjian kerja. Seringkali hubungan kerja antara PRT dan majikan dilakukan tanpa perjanjian kerja secara tertulis. Akibatnya ketika terjadi masalah dengan PRT, UU No. 13 Tahun 2003 tidak dapat digunakan sebagai acuan untuk melindungi mereka.

Survei Tenaga Kerja Nasional Tahun 2008 yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS) dan estimasi ILO Tahun 2009 menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat lebih dari 3 juta PRT yang bekerja di dalam negeri dan lebih dari 6 juta PRT asal Indonesia bekerja di luar negeri.  Dari jumlah tersebut, sebanyak 90% adalah perempuan, sebagian besar diantaranya berusia antara 13 dan 30 tahun, berasal dari kawasan pedesaan dan berpendidikan rendah.  Sebagai pekerja yang memiliki tingkat pendidikan rendah, lekat dengan kemiskinan, kurangnya keterampilan dan pengalaman kerja, berjenis kelamin perempuan, bahkan berusia anak-anak, PRT sangat rentan mengalami kekerasan. 

Marjinalisasi formalistik yang terlihat dari belum adanya pengaturan secara eksplisit mengenai perlindungan PRT akan semakin membuka peluang dan potensi bagi bentuk-bentuk eksploitasi, seperti psikis, ekonomi, dan fisik terhadap PRT.


PERSPEKTIF GENDER PERLINDUNGAN PRT

Sampai saat ini, rumusan khusus yang bersifat formal tentang pengertian PRT di dalam sistem hukum di Indonesia belum ada.  Istilah PRT merupakan wacana baru yang dikembangkan oleh pihak LSM dan organisasi internasional untuk mengganti kata ”pembantu” (servant/maid).  Pergeseran istilah ini bertujuan untuk melepaskan perempuan PRT dari stratifikasi sosial yang memposisikan mereka sebagai pihak yang lemah dan tersubordinasi.  PRT selama ini memiliki posisi tawar yang lemah di hadapan majikan, penyalur pekerjaan, maupun di hadapan hukum. 

Selama ini, pembagian kerja seksual  dalam masyarakat patriarki telah menempatkan perempuan sebagai makhluk domestik (pekerja rumah tangga), sejak masa kanak-kanak (peran sebagai anak perempuan) hingga dewasa (peran sebagai istri/ibu rumah tangga).  Sebaliknya, laki-laki lebih diposisikan untuk berperan di dunia publik.  Pembagian kerja seksual sebenarnya didasari pada konsep yang membedakan antara pekerja ahli (terdidik) dan pekerja tidak ahli (tidak terdidik). Pekerjaan yang berkisar di wilayah domestik, seperti pekerjaan rumah tangga cenderung dipandang sebagai pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian dan terutama pantas dilakukan oleh perempuan. Oleh karena itu, PRT dianggap sebagai pekerja tidak ahli, yang sifat pekerjaannya sering disebut informal.

Paradigma domestifikasi pekerjaan PRT tersebut yang mengakibatkan pengaturan mengenai PRT ini tidak termasuk di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.  UU tersebut mengatur tentang pekerjaan yang dilakukan di ruang publik,  sedangkan pekerjaan PRT dikategorikan sebagai pekerjaan domestik yang hanya mencakup pekerjaan rumah tangga, antara lain mencuci, memasak, bersih-bersih, dan pengasuh anak/lansia. Pembakuan istilah PRT diharapkan dapat membawa dampak adanya pengakuan bahwa PRT termasuk dalam sektor pekerja formal dan dapat dilindungi secara yuridis formal.

Pengaturan mengenai perlindungan PRT  dalam sebuah UU termasuk dalam salah satu RUU yang diajukan sebagai usul insiatif DPR-RI pada Prolegnas Tahun 2010-2014.  RUU ini masuk sebagai prioritas Prolegnas Tahun 2010.  Namun, sampai saat ini, Naskah Akademik belum disusun dan draft usulan RUU yang ada baru berasal dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT). 

Apabila ditinjau dari perspektif gender, ada beberapa hal yang dapat menjadi hambatan dalam membawa isu Perlindungan PRT sebagai isu yang mendesak, antara lain:
  1. kelemahan dalam proses advokasi pembentukan RUU, yaitu ketidakmampuan membawa problem kebijakan (masalah kekerasan terhadap PRT) menjadi isu kebijakan dan mengangkatnya menjadi agenda kebijakan;
  2. adanya hambatan internal pada pihak yang berwenang dalam pembuatan RUU baik eksekutif maupun legislatif, seperti basis material dan teori yang lemah;
  3. adanya bias gender sehingga ada anggapan bahwa isu ini adalah isu domestik yang tidak mendesak jika dibandingkan dengan isu lain yang lebih maskulin; dan
  4. pengaruh tingkat keterwakilan perempuan yang rendah (juga kualitas perempuan) yang ada di legislatif sehinga sulit mengagendakan isu perempuan.

PENGATURAN  PRT DI TINGKAT INTERNASIONAL
Dalam Press Release United Nations Development Programme (UNDP), “Asia-Pacific Has One of the World’s Worst Gender Gaps”, yang dikeluarkan dalam rangka Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2010, disebutkan bahwa:  “….up to 85 percent of South(East) Asia’s working women―are engaged in unstable low-end work in the informal economy. Hal ini menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2010 ini, kualitas kehidupan ekonomi perempuan di negara-negara Asia masih dalam keadaan yang mengkhawatirkan.   Masih banyak perempuan yang bekerja di sektor informal dengan penghasilan/upah yang rendah.  Minimnya partisipasi perempuan dalam pekerjaan sektor formal akan merugikan negara jutaan dollar per tahun, karena penghasilan mereka tidak tercatat sebagai pendapatan negara.  Di India, Indonesia, dan Malaysia, estimasi konservatif menunjukkan bahwa GDP (Gross Domestic Product) akan meningkat sekitar 2-4 % per tahun apabila pekerja perempuan meningkat sampai 70%, mendekati angka rata-rata di negara berkembang lainnya.  Para ahli ekonomi menghitung, angka produktivitas di Jakarta turun lebih dari 60% ketika PRT pulang kampung berlebaran. 
International Labour Organization (ILO) telah lama memberikan perhatian khusus kepada para PRT.  International Labour Convention (ILC) bahkan telah secara rutin menyerukan penetapan standar untuk PRT sejak tahun 1936.  Perkembangan terkini, ILO melakukan kajian khusus mengenai Peraturan Praktik berjudul “Pekerjaan yang Layak untuk PRT” (Decent Work for Domestic Work), yang dituangkan dalam Laporan ILO pada April 2009. Dalam laporan tersebut ditawarkan “Penetapan Standar Ketenagakerjaan bagi PRT.”  Laporan ini juga yang memfasilitasi diskusi tentang Pekerja Rumah Tangga pada sesi ke-99 Konferensi Ketenagakerjaan Internasional (ILC), yang akan diselenggarakan pada Juni 2010.   Pemerintah Indonesia akan mengikuti konferensi ini.
Selain itu, dapat dicermati pula pengaturan perlindungan PRT yang telah dimiliki oleh beberapa negara di dunia, antara lain Afrika Selatan, Filipina, dan Arab Saudi.    
Di Afrika Selatan, sejak tahun 2002, Departemen Tenaga Kerja telah membuat suatu Undang-Undang yang mengatur tenaga kerja pada sektor domestik.  UU ini dikenal dengan sebutan “Sectoral Determination for the Domestic Worker Sector”.  Tujuan dikeluarkannya UU ini adalah untuk memperbaiki kondisi PRT terutama dalam hal jam kerja, upah, cuti, dan hak-hak sebagaimana pekerja di sektor lainnya. Standar upah dibagi berdasarkan jumlah jam kerja dan area kerja/wilayah tempat tinggal majikan.  Berdasarkan ketentuan, jam kerja standar adalah 27 jam per-minggu.  Besarnya upah dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
1.    upah minimum bagi PRT yang bekerja lebih dari 27 jam per minggu; dan
2.    upah minimum yang ditentukan bagi PRT yang bekerja kurang dari 27 jam 
per minggu. 
Maksimum waktu kerja adalah 45 jam seminggu.  Diatur pula mengenai apa yang tidak boleh dilakukan oleh PRT dan hak lain bagi PRT yang perlu mendapatkan perhatian dari majikan, seperti fasilitas tempat tinggal PRT yang layak dan aman.

Di Filipina, merupakan negara tetangga yang juga menjadi penghasil dan pengguna PRT dalam jumlah cukup besar, telah mengeluarkan sebuah UU tentang PRT.  UU yang dikenal dengan sebutan ”Magna Carta Domestic Workers atau Batasan Kasambahay” menyatakan bahwa PRT adalah jenis pekerjaan yang harus dihormati dan memiliki hak-hak yang sama dalam peningkatan kesejahteraannya.  Pengakuan negara terhadap kerentanan kelompok masyarakat terpinggirkan ini diimbangi dengan kewajiban negara untuk memberikan pelayanan sosial, ekonomi, dan hukum yang sepatutnya untuk PRT. 
Dalam Magna Carta juga disebutkan berbagai bentuk pekerjaan yang dilarang dilakukan oleh PRT, karena dapat berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan dirinya.  Mengenai jaminan sosial, disebutkan agar setiap PRT dilibatkan setidaknya dalam dua jenis Jaminan Sosial yaitu Jaminan Ketahanan Sosial (Social Security System) dan Jaminan Asuransi Kesehatan (Philhealth).   Selanjutnya, untuk melaksanakan UU ini, Pemerintah Filipina langsung membentuk Gugus Tugas Nasional PRT (National Task Force for Domestic Workers).   Dapat dikatakan bahwa peraturan yang dibuat untuk melindungi PRT di Filipina bukan sekedar peraturan yang dibuat berdasarkan kepentingan finansial atau orientasi proyek, melainkan sebagai suatu perwujudan perspektif yang kuat mengenai pentingnya perlindungan PRT.  Bagaimanapun juga, kita semua membutuhkan jasa PRT dalam meringankan pekerjaan sehari-hari.

Di Arab Saudi, beberapa waktu yang lalu Dewan Syura Arab Saudi akhirnya mengesahkan tambahan dalam hukum perburuhan menyangkut klausul baru tentang PRT.   UU yang dibentuk selama beberapa tahun tersebut menyatakan kewajiban majikan terhadap PRT, antara lain memberikan waktu istirahat setidaknya 9 jam per hari, fasilitas tempat tinggal yang layak, dan cuti/liburan.


PERKEMBANGAN ISU PERLINDUNGAN PRT DI INDONESIA

Secara nasional, memang belum ada peraturan khusus tentang PRT.  Meskipun demikian, sudah ada Pemerintah Daerah yang mengatur masalah PRT dalam Peraturan Daerah (Perda), antara lain Provinsi D.I. Yogyakarta dan DKI Jakarta.

Di Yogyakarta, isu perlindungan terhadap PRT ini bergaung cukup kencang.  Beberapa waktu yang lalu, para aktivis lokal melakukan aksi long march ke Kantor Gubernur dan DPRD Provinsi DIY.  Aksi tersebut sebagai ungkapan kekecewaan terhadap Surat Keputusan (SK) Gubernur yang tidak menyetujui PRT diatur dalam Perda No. 13 Tahun 2009.  Dalam SK No 244/Kep/2009 tertanggal 14 Desember 2009, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta meminta agar Pasal 37 yang mengatur tentang PRT dalam Peraturan Daerah tentang Ketenagakerjaan dianulir.  Alasannya, PRT tidak termasuk dalam kategori tenaga kerja seperti yang diatur di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, pada akhirnya Pemerintah Provinsi DIY berkomitmen akan merumuskan Peraturan Gubernur (Pergub) khusus mengatur tentang PRT.

Di DKI Jakarta, peraturan mengenai Perlindungan PRT ini tertuang dalam Perda Pemerintah Provinsi DKI Jakarta No. 6 Tahun 1993.  Meskipun Perda ini masih menggunakan istilah “pramuwisma/pembantu rumah tangga”, setidaknya ada pengaturan mengenai  hak dan kewajiban majikan dan PRT, persyaratan PRT, kewajiban badan usaha penyalur PRT, larangan bagi penyalur, dan penyelesaian perselisihan.  Tetapi bagaimanapun Perda ini dianggap masih kurang signifikan dalam memberikan perlindungan terhadap PRT di DKI Jakarta.  Saat ini sedang diusulkan agar dilakukan revisi terhadap Perda tersebut.

Di tingkat nasional, kelompok masyarakat dan aktivis pemerhati isu perlindungan terhadap PRT mulai melakukan advokasi dengan dikoordinasikan oleh Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT).   Draf Rancangan Undang-Undang tentang Pekerja Rumah Tangga yang disampaikan ke DPR-RI terdiri dari 11 BAB dan 49 Pasal, dengan harapan pembentukan dan pembahasan dapat dilakukan pada tahun 2011.



Substansi Perlindungan di dalam RUU PRT
Berdasarkan berbagai perbandingan di atas, sesungguhnya para pihak yang concern terhadap isu ini menginginkan tersedianya aturan yang jelas bagi perlindungan PRT.  Dengan cakupan yang diatur antara lain tentang pemenuhan upah yang layak, hak untuk berorganisasi, perlindungan hukum, jam kerja dan istirahat, serta jaminan kesehatan dan jaminan sosial.  Para aktivis pembela PRT menilai bahwa tuntutan itu akan terpenuhi apabila pemerintah melakukan empat tindakan, yakni: Pertama, meratifikasi Konvensi Internasional PBB tentang Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya Tahun 1990; Kedua, melakukan revisi UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri yang mengacu pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terdapat dalam Konvensi Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya Tahun 1990; Ketiga, mewujudkan UU Perlindungan PRT yang di dalamnya memuat pengakuan PRT sebagai pekerja serta menjamin situasi dan kondisi kerja yang layak; dan Keempat, mengambil peran aktif dalam mendorong lahirnya Konvensi ILO tentang PRT, pada Konvensi ILO bulan Juni 2010 mendatang. 
Adapun tujuan dari Perlindungan PRT melalui UU, yaitu:
a.    memberikan pengakuan secara hukum atas jenis pekerjaan PRT;
b.    memberikan pengakuan bahwa pekerjaan kerumahtanggaan mempunyai nilai yang setara dengan semua jenis pekerjaan lainnya;
c.    mencegah segala bentuk diskriminasi, pelecehan, dan kekerasan terhadap PRT;
d.    memberikan perlindungan kepada PRT dalam mewujudkan kesejahteraan; dan
e.    mengatur hubungan kerja yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan.
Tujuan tersebut dapat terwujud apabila dalam UU tentang PRT nantinya mengatur berbagai hal krusial terkait perlindungan PRT.  Berikut ini beberapa pengaturan perlindungan PRT yang diharapkan tercakup dalam RUU:
1.    hubungan kerja antara PRT dengan pengguna jasa terjadi karena adanya perjanjian kerja guna melakukan pekerjaan kerumahtanggaan;
2.    waktu kerja PRT adalah sesuai dengan yang diperjanjikan dan lamanya maksimal 8 jam per hari;
3.    pekerjaan yang dilakukan selebihnya dari waktu kerja diperhitungkan sebagai waktu kerja lembur dan PRT menerima upah lembur, dan lamanya waktu lembur maksimal 4 jam per hari;
4.    setiap PRT berhak mendapatkan waktu istirahat selama melaksanakan pekerjaan;
5.    waktu istirahat tidak diperhitungkan sebagai jam kerja;
6.    PRT berhak mendapatkan waktu libur mingguan selama 24 jam atau 1 (satu) hari dalam setiap 1 minggu tanpa potongan;
7.    dalam hal PRT bekerja di waktu libur mingguan, maka PRT berhak menerima upah lembur;
8.    PRT berhak mendapatkan upah hidup layak atas pekerjaan yang dilakukan.  Upah yang layak bukanlah upah minimum, namun harus disesuaikan dengan jam kerja, bentuk pekerjaan, dan pengalaman kerja;
9.    PRT berhak atas fasilitas makanan yang layak selama masa kerja;
10.  PRT berhak atas jaminan sosial, yang meliputi: Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Tunjangan Hari Tua, Tunjangan Kematian, dan Tunjangan Melahirkan;
11.  setiap PRT berhak membentuk dan menjadi anggota Serikat Pekerja Rumah Tangga; dan
12.  ketentuan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja dan Penyelesaian Perselisihan.
Terkait dengan rencana DPR-RI untuk menyusun dan melakukan pembahasan RUU tentang PRT, maka hendaknya wacana ini dapat menjadi salah satu masukan sehingga dapat terbentuk suatu perlindungan yang eksplisit terhadap PRT.

Dina Martiany
Email:  dina8333@gmail.com

Referensi:

1.    Susiana, Sali, ”Perlindungan Hak Pekerja Rumah Tangga Perempuan dalam Perspektif Feminis (Studi tentang Rancangan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta tentang Pekerja Rumah Tangga)”, Jurnal Kajian, Vol. 13 No. 1, Jakarta, Maret 2008.
2.    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
3.    Jurnal Perempuan Nomor 39: Pekerja Rumah Tangga, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, Januari 2005.
4.    Ni’Mah, Maslahatun, PRT, Potret Inferioritas Perempuan: Studi tentang Pengaruh Ideologi Gender dalam Proses Pembuatan Kebijakan Perda Perlindungan PRT di Surabaya”, dikutip dari http://www.adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-s1-2007-nimahmasla- 5018&PHPSESSID=0581b87ff3e6fc78a1d0fb8fcfa7aeb6, 26 Juli 2007, diakses tanggal 8 Maret 2010.
5.    Press Release United Nations Development Programme (UNDP), “Asia-Pacific Has One of the World’s Worst Gender Gaps”, 8 Maret 2010.
6.    “What Domestic Workers and Their Employers Should Know About Minimum Wages and Conditions of Employment”, Pamflet Pekerja Rumah Tangga Afrika Selatan, dikutip dari www.labour.gov.za., diakses tanggal 8 Maret 2010.
7.    “ILO to Campaign on Domestic Worker’s Right in Indonesia”, dikutip dari http://www.oit.org/jakarta/info/public/pr/langen/WCMS_116610/index.htm, diakses tanggal 8 Maret 2010.
8.    Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Pemerintah Agar Dukung Konvensi Perlindungan PRT”, 20 Agustus 2009, dikutip dari http://www.vhrmedia.com/Pemerintah-agar-Dukung-Konvensi-Perlindungan-PRT-berita2053.html.
9.    “UU PRT di Arab: Perlindungan Internasional untuk PRT”, dikutip dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/05/03535368/perlindungan.internasional.untuk.prt---------Jumat, 5 Februari 2010.
10.  “Puluhan Pekerja Rumah Tangga Unjuk Rasa”¸ Media Indonesia, 9 Februari 2010, dikutip dari http://www.rtnd.org/v3/en/.  Diakses tanggal 8 Maret 2010.